Director: Sidney Lumet
Writer: Reginald Rose (story
and screenplay)
Rating: PG
Genre: Classic, Drama,
Psychology
Stars: Henry Fonda, Lee J.
Cobb, Martin Balsam
Ratings:
IMDb: 8,9/10
Rotten Tomatoes: 8,9/10
PordNiar: 8.5/10
Sinopsis
Berkisah tentang seorang bocah
yang diduga melakukan tindak kejahatan pembunuhan kepada ayahnya sendiri. bukti
dan saksi yang terbukti memberatkan anak tersebut. Namun bersalah atau tidak
nya anak itu ditentukan oleh 12 dewan juri yang netral dan berasal dari
berbagai kalangan dan profesi.
Keputusan mereka haruslah bulat.
Mutlak. Tanpa perbedaan. Jeda waktu penentuan digunakan para juri untuk beristirahat
di sebuah ruangan tertutup. Namun, saat kesebelas juri sudah menentukan bahwa
anak itu bersalah, satu orang juri justru menyatakan pendapatnya bahwa si anak
tidak bersalah.
Mulai dari perbedaan pendapat
inilah, 12 juri itu membuka diskusi yang cukup panjang. Menentukan nasib
seorang anak yang hidup dan matinya ada di tangan mereka.
Benarkah anak itu memang membunuh
ayahnya? apa alasan yang mendasari salah
satu juri itu menganggap si anak tidak bersalah?
Review
Film hitam putih jadul kedua yang
saya tonton setelah Psycho (1960). Nyaris sepanjang cerita bersetting di sebuah
ruangan sempit dengan kipas angin rusak dan jelas sekali bikin engap. Dengan 12
tokoh yang sama dan tak ada penyebutan nama kecuali hanya dengan panggilan
sesuai nomor urut menjadi juri (Juri No.1, Juri No.2, dan seterusnya), serta penuh
dengan percakapan.
Pasti sebagian penonton akan
merasa bosan dan tidak betah melanjutkan menonton. Karena memang film ini hanya
berkutat di situ-situ saja dan membicarakan hal yang sama. Terkadang malah
terasa blunder dan tak menemukan titik terang. Terlebih ini film monokrom, yang
akan mengganggu bagi yang tidak atau belum terbiasa.
Persoalannya cuma satu, yakni
apakah si anak bersalah ataukah tidak. Tentu saja sebelas juri yang menyatakan bersalah sudah merasa cukup
mendengar saksi dan melihat bukti yang memberatkan si anak. Namun apakah hanya
itu alasannya? Apakah mereka tidak mau melihat lebih detil dan mencari tahu
latar belakang tentang si anak dan tempat kejadian perkara?
Jawabannya adalah tidak.
Masing-masing memiliki alasan lain. Yaitu karena mereka ingin kasus ini segera
berakhir. Dengan begitu mereka bisa meneruskan kegiatan mereka masing-masing. Tanpa
merasa terbebani oleh nasib yang menanti seseorang yang mungkin saja tidak
bersalah atas kejahatan yang dituduhkan padanya.
Satu juri menyadari hal itu. Dia (Henry
Fonda) tidak ingin terburu-buru hingga kemudian membunuh orang yang tidak
bersalah. Saat itu hukuman jika anak itu bersalah adalah hukuman mati. Melihat
perbedaan pendapat, juri yang memimpin (Martin Balsam) memutuskan untuk membuka
diskusi. Meski semuanya setuju, sebagian besar mengeluh lantaran proses
keputusan menjadi lebih lama.
![]() |
Henry Fonda sebagai Juri No. 8 |
Alasan dikemukakan oleh juri yang
berpendapat tidak bersalah. Tentang senjata penusukan yang konon hanya bisa
ditemukan sangat terbatas, posisi tusukan, saksi yang rabun jika tidak memakai
kacamata, tempat tinggal si anak yang dekat dengan rel kereta api yang bising, dan
motif si anak yang ternyata seringkali dipukuli oleh ayahnya.
Argumen pun seringkali disanggah,
dibantah, diabaikan, dikembalikan, dan juga direnungkan kembali. Karenanya satu
demi satu, juri yang menyatakan bersalah merubah keputusannya menjadi tidak
bersalah. Diksusi semakin panjang karena tak kunjung menemukan keputusan yang
bulat saat semua juri setuju. Diskusi malah seolah menciptakan dua kubu yang
pro dan kontra. Hingga bentakan, teriakan, kejengkelan, dan nyaris baku hantam
pun terjadi.
Kadang sebuah praduga bisa
mengaburkan kebenaran.
Semuanya lebih banyak
menduga-duga. Begitu pula dengan saksi. Hasilnya semakin banyak orang yang
menduga, semakin kabur kebenaran itu. Tidak ada yang memikirkan penelitian,
analisis, nalar dan logika, kecocokan detail waktu dan hal-hal kecil yang
terjadi yang sebenarnya penting namun luput karena sebuah dugaan telah
mengarahkan pada keragu-raguan.
Film ini menarik dari segi konten
dan karakterisasi. Simpel sekali. Merubah
pendapat dari ‘Guilty’ menjadi ‘Not Guilty’. Namun dari kesederhanaan konsep, banyak
tergali karakter-karakter sesungguhnya dari pada juri yang bahkan masing-masing
baru pertama kali bertemu di persidangan itu. Saling mengetahui nama pun tidak.
Film tentang pembunuhan dan
mengungkapan deduksi yang tepat tentu sudah banyak ada pada film-film bertema
demikian. Tetapi 12 Angry Men, menurut saya, menyajikan porsi lain dari itu
semua. Terlihat dari judulnya. 12 juri itu memang tak luput dari amarah saat
sedang berdiskusi. Bebebrapa alasannya adalah karena ruangan tertutup itu panas
dengan kipas angin rusak, ada kepentingan pribadi yang ingin dilakukan beberapa
juri dan marah sekali saat tahu bahwa diksusi mereka tidak akan berakhir dalam
waktu dekat.
Yang paling menarik adalah bahwa
ada salah seorang juri, lebih tepatnya Juri No.3 (Lee J. Cobb) yang ngotot
sekali bahwa terdakwa ini bersalah. Ternyata dia adalah seorang ayah yang memiliki
konflik cukup serius dengan anaknya. Hingga membuatnya merasa bahwa sangat
mungkin terdakwa membunuh ayahnya karena sering dipukuli. Juri ini memang
paling menyebalkan namun sekaligus langsung merubah emosi saya hanya dalam dua
detik.
![]() |
Lee J. Cobb |
Juri itu adalah juri yang
terakhir kali menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah setelah seharian dia
ngotot sekali sampai teriak-teriak bahwa anak itu bersalah. Menurut saya dia
lah yang menjadi klimaks dari cerita ini. Saat kengototannya itu akhirnya kalah
dengan fakta-fakta yang menghapus semua dugaan yang ada. Mungkin dalam hati
kecilnya sudah lama dia setuju bahwa terdakwa tidak bersalah, tetapi bertentangan
dengan egonya yang membenci anaknya dan percaya bahwa seorang anak bisa sampai
membunuh orangtuanya jika sudah sangat benci.
Di akhir diskusi, juri itu
menangis setelah mengeluarkan dompet dan merobek foto anak yang dibenci namun
amat disayanginya. Di sela tangisan itu dia mengatakan: ‘Not Guilty’. Dari
scene itu hati saya langsung mencelus. Dia bisa membuat emosi saya berubah
hanya dalam hitungan detik. Karakter yang terbangun selama diskusi para juri
ini benar-benar baik sehingga saya masuk sekali ke dalam keseluruhan cerita.
Sama banget dengan perasaan saya pada Severus Snape nya Harry Potter, yang
merubah semua kebencian saya pada hanya dalam beberapa adegan di satu buku.
Salah satu juri lain/Juri No.7, pun
memilki karakter yang saya yakin juga saya pribadi miliki dalam salah satu
keping kepribadian saya. Yakni perasaan ingin segera menyelesaikan sesuatu
untuk melakukan sesuatu lain yang lebih berharga bagi dirinya pribadi. Dia
tidak peduli pada apa yang terjadi, asalkan dia bisa cepat melakukan hal
‘penting’ nya, dia akan memihak siapa saja. Orang-orang seperti ini yang tidak
akan ‘bertindak’ jika tidak menyangkut kehidupannya sendiri. Dalam artian lain
adalah seorang yang egois.
![]() |
Jack Warden sebagai Juri No. 7 (yang pakai topi) |
Di film ini saya diajak berpikir
tentang sikap bertanggung jawab akan sesuatu yang kita setujui untuk kita
pegang. Perlu juga berpikir jernih tanpa mengandalkan dugaan yang bisa saja
berkebalikan total dengan kenyataannya. Saya senang bahwa setelah menatap mata
si anak yang diduga membunuh ayahnya itu, satu juri pahlawan, ya saya sebut
pahlawan karena dia berani menegakkan kebenaran di antara sikap egoisme dan buta
dugaan seperti sebelas juri yang lain, teguh
memutuskan bahwa terdakwa tidak bersalah. Dan bertahan hingga akhir dan
membuat sebelas juri lainnya berdiri di pihaknya. Pihak yang memakai tak hanya
pikiran untuk deduksi yang tepat, tapi juga perasaan tentang seorang anak yang nyawanya
bisa melayang meskipun, mungkin, dia tidak bersalah.
Spoiler yang bisa saya berikan tidak
banyak dan tidak ngetwist juga. Tapi film ini membuat saya banyak merenung
sebenarnya.
Akhirnya diputuskan si anak tidak
bersalah. Saya tidak tahu siapa pembunuh sebenarnya karena konfik di sini hanya
sampai pada keputusan tidak bersalah itu.
Film ini mengingatkan saya pada
film nya bang Oguri Shun yang Kisaragi. Awalnya merasa amazed dengan dengan
plot dan settingnya yang di situ-situ saja tapi asyik. Karena saya menonton
Kisaragi dulu sebelum 12 Angry Men. Dan setelah menonton 12 Angry Men yang
sudah dibuat jauh sebelum Kisaragi, saya merasa inspirasi Kisaragi adalah dari
12 Angry Men. Meski plot dan alurnya berbeda, tetapi konsepnya saya pikir sih
sama.
Film bagus ini. Jadul tapi masih
sangat orisinil. Pemecahan misteri pembunuhan dengan cara yang lain. Bahkan TKP
dan korban serta saksi nya pun tidak diperlihatkan dan hanya dibicarakan. Anda
bisa memutuskan untuk menyukainya atau tidak di menit-menit pertama film. Anda
bisa memutuskan untuk ketiduran saking bosan atau tidak ngertinya saat
menit-menit pertama, atau justru pensaran dengan fakta-fakta apalagi yang akan
terbeber melalui pembicaraan para pria dewasa yang penuh keringat dan ruangan
yang pengap. Syukurlah akhirnya hujan turun dan kipas angin rusak berfugsi
kembali.
8,5 bintang!!
0 comments:
Post a Comment