Review Film : 12 Angry Men (1957)

Friday, 23 September 2016





Director: Sidney Lumet
Writer: Reginald Rose (story and screenplay)
Rating: PG
Genre: Classic, Drama, Psychology
Stars: Henry Fonda, Lee J. Cobb, Martin Balsam
Ratings:
IMDb: 8,9/10
Rotten Tomatoes: 8,9/10

PordNiar: 8.5/10





Sinopsis 

Berkisah tentang seorang bocah yang diduga melakukan tindak kejahatan pembunuhan kepada ayahnya sendiri. bukti dan saksi yang terbukti memberatkan anak tersebut. Namun bersalah atau tidak nya anak itu ditentukan oleh 12 dewan juri yang netral dan berasal dari berbagai kalangan dan profesi.

Keputusan mereka haruslah bulat. Mutlak. Tanpa perbedaan. Jeda waktu penentuan digunakan para juri untuk beristirahat di sebuah ruangan tertutup. Namun, saat kesebelas juri sudah menentukan bahwa anak itu bersalah, satu orang juri justru menyatakan pendapatnya bahwa si anak tidak bersalah.

Mulai dari perbedaan pendapat inilah, 12 juri itu membuka diskusi yang cukup panjang. Menentukan nasib seorang anak yang hidup dan matinya ada di tangan mereka.
Benarkah anak itu memang membunuh ayahnya? apa alasan yang mendasari salah satu juri itu menganggap si anak tidak bersalah?



Review


Film hitam putih jadul kedua yang saya tonton setelah Psycho (1960). Nyaris sepanjang cerita bersetting di sebuah ruangan sempit dengan kipas angin rusak dan jelas sekali bikin engap. Dengan 12 tokoh yang sama dan tak ada penyebutan nama kecuali hanya dengan panggilan sesuai nomor urut menjadi juri (Juri No.1, Juri No.2, dan seterusnya), serta penuh dengan percakapan.

Pasti sebagian penonton akan merasa bosan dan tidak betah melanjutkan menonton. Karena memang film ini hanya berkutat di situ-situ saja dan membicarakan hal yang sama. Terkadang malah terasa blunder dan tak menemukan titik terang. Terlebih ini film monokrom, yang akan mengganggu bagi yang tidak atau belum terbiasa.



Persoalannya cuma satu, yakni apakah si anak bersalah ataukah tidak. Tentu saja sebelas juri yang  menyatakan bersalah sudah merasa cukup mendengar saksi dan melihat bukti yang memberatkan si anak. Namun apakah hanya itu alasannya? Apakah mereka tidak mau melihat lebih detil dan mencari tahu latar belakang tentang si anak dan tempat kejadian perkara?

Jawabannya adalah tidak. Masing-masing memiliki alasan lain. Yaitu karena mereka ingin kasus ini segera berakhir. Dengan begitu mereka bisa meneruskan kegiatan mereka masing-masing. Tanpa merasa terbebani oleh nasib yang menanti seseorang yang mungkin saja tidak bersalah atas kejahatan yang dituduhkan padanya.

Satu juri menyadari hal itu. Dia (Henry Fonda) tidak ingin terburu-buru hingga kemudian membunuh orang yang tidak bersalah. Saat itu hukuman jika anak itu bersalah adalah hukuman mati. Melihat perbedaan pendapat, juri yang memimpin (Martin Balsam) memutuskan untuk membuka diskusi. Meski semuanya setuju, sebagian besar mengeluh lantaran proses keputusan menjadi lebih lama.

Henry Fonda sebagai Juri No. 8


Alasan dikemukakan oleh juri yang berpendapat tidak bersalah. Tentang senjata penusukan yang konon hanya bisa ditemukan sangat terbatas, posisi tusukan, saksi yang rabun jika tidak memakai kacamata, tempat tinggal si anak yang dekat dengan rel kereta api yang bising, dan motif si anak yang ternyata seringkali dipukuli oleh ayahnya.

Argumen pun seringkali disanggah, dibantah, diabaikan, dikembalikan, dan juga direnungkan kembali. Karenanya satu demi satu, juri yang menyatakan bersalah merubah keputusannya menjadi tidak bersalah. Diksusi semakin panjang karena tak kunjung menemukan keputusan yang bulat saat semua juri setuju. Diskusi malah seolah menciptakan dua kubu yang pro dan kontra. Hingga bentakan, teriakan, kejengkelan, dan nyaris baku hantam pun terjadi.



Kadang sebuah praduga bisa mengaburkan kebenaran.

Semuanya lebih banyak menduga-duga. Begitu pula dengan saksi. Hasilnya semakin banyak orang yang menduga, semakin kabur kebenaran itu. Tidak ada yang memikirkan penelitian, analisis, nalar dan logika, kecocokan detail waktu dan hal-hal kecil yang terjadi yang sebenarnya penting namun luput karena sebuah dugaan telah mengarahkan pada keragu-raguan.

Film ini menarik dari segi konten dan karakterisasi.  Simpel sekali. Merubah pendapat dari ‘Guilty’ menjadi ‘Not Guilty’. Namun dari kesederhanaan konsep, banyak tergali karakter-karakter sesungguhnya dari pada juri yang bahkan masing-masing baru pertama kali bertemu di persidangan itu. Saling mengetahui nama pun tidak.



Film tentang pembunuhan dan mengungkapan deduksi yang tepat tentu sudah banyak ada pada film-film bertema demikian. Tetapi 12 Angry Men, menurut saya, menyajikan porsi lain dari itu semua. Terlihat dari judulnya. 12 juri itu memang tak luput dari amarah saat sedang berdiskusi. Bebebrapa alasannya adalah karena ruangan tertutup itu panas dengan kipas angin rusak, ada kepentingan pribadi yang ingin dilakukan beberapa juri dan marah sekali saat tahu bahwa diksusi mereka tidak akan berakhir dalam waktu dekat.

Yang paling menarik adalah bahwa ada salah seorang juri, lebih tepatnya Juri No.3 (Lee J. Cobb) yang ngotot sekali bahwa terdakwa ini bersalah. Ternyata dia adalah seorang ayah yang memiliki konflik cukup serius dengan anaknya. Hingga membuatnya merasa bahwa sangat mungkin terdakwa membunuh ayahnya karena sering dipukuli. Juri ini memang paling menyebalkan namun sekaligus langsung merubah emosi saya hanya dalam dua detik.

Lee J. Cobb


Juri itu adalah juri yang terakhir kali menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah setelah seharian dia ngotot sekali sampai teriak-teriak bahwa anak itu bersalah. Menurut saya dia lah yang menjadi klimaks dari cerita ini. Saat kengototannya itu akhirnya kalah dengan fakta-fakta yang menghapus semua dugaan yang ada. Mungkin dalam hati kecilnya sudah lama dia setuju bahwa terdakwa tidak bersalah, tetapi bertentangan dengan egonya yang membenci anaknya dan percaya bahwa seorang anak bisa sampai membunuh orangtuanya jika sudah sangat benci.



Di akhir diskusi, juri itu menangis setelah mengeluarkan dompet dan merobek foto anak yang dibenci namun amat disayanginya. Di sela tangisan itu dia mengatakan: ‘Not Guilty’. Dari scene itu hati saya langsung mencelus. Dia bisa membuat emosi saya berubah hanya dalam hitungan detik. Karakter yang terbangun selama diskusi para juri ini benar-benar baik sehingga saya masuk sekali ke dalam keseluruhan cerita. Sama banget dengan perasaan saya pada Severus Snape nya Harry Potter, yang merubah semua kebencian saya pada hanya dalam beberapa adegan di satu buku.



Salah satu juri lain/Juri No.7, pun memilki karakter yang saya yakin juga saya pribadi miliki dalam salah satu keping kepribadian saya. Yakni perasaan ingin segera menyelesaikan sesuatu untuk melakukan sesuatu lain yang lebih berharga bagi dirinya pribadi. Dia tidak peduli pada apa yang terjadi, asalkan dia bisa cepat melakukan hal ‘penting’ nya, dia akan memihak siapa saja. Orang-orang seperti ini yang tidak akan ‘bertindak’ jika tidak menyangkut kehidupannya sendiri. Dalam artian lain adalah seorang yang egois.

Jack Warden sebagai Juri No. 7 (yang pakai topi)


Di film ini saya diajak berpikir tentang sikap bertanggung jawab akan sesuatu yang kita setujui untuk kita pegang. Perlu juga berpikir jernih tanpa mengandalkan dugaan yang bisa saja berkebalikan total dengan kenyataannya. Saya senang bahwa setelah menatap mata si anak yang diduga membunuh ayahnya itu, satu juri pahlawan, ya saya sebut pahlawan karena dia berani menegakkan kebenaran di antara sikap egoisme dan buta dugaan seperti sebelas juri yang lain, teguh  memutuskan bahwa terdakwa tidak bersalah. Dan bertahan hingga akhir dan membuat sebelas juri lainnya berdiri di pihaknya. Pihak yang memakai tak hanya pikiran untuk deduksi yang tepat, tapi juga perasaan tentang seorang anak yang nyawanya bisa melayang meskipun, mungkin, dia tidak bersalah.





Spoiler yang bisa saya berikan tidak banyak dan tidak ngetwist juga. Tapi film ini membuat saya banyak merenung sebenarnya.

Akhirnya diputuskan si anak tidak bersalah. Saya tidak tahu siapa pembunuh sebenarnya karena konfik di sini hanya sampai pada keputusan tidak bersalah itu.



Film ini mengingatkan saya pada film nya bang Oguri Shun yang Kisaragi. Awalnya merasa amazed dengan dengan plot dan settingnya yang di situ-situ saja tapi asyik. Karena saya menonton Kisaragi dulu sebelum 12 Angry Men. Dan setelah menonton 12 Angry Men yang sudah dibuat jauh sebelum Kisaragi, saya merasa inspirasi Kisaragi adalah dari 12 Angry Men. Meski plot dan alurnya berbeda, tetapi konsepnya saya pikir sih sama.



Film bagus ini. Jadul tapi masih sangat orisinil. Pemecahan misteri pembunuhan dengan cara yang lain. Bahkan TKP dan korban serta saksi nya pun tidak diperlihatkan dan hanya dibicarakan. Anda bisa memutuskan untuk menyukainya atau tidak di menit-menit pertama film. Anda bisa memutuskan untuk ketiduran saking bosan atau tidak ngertinya saat menit-menit pertama, atau justru pensaran dengan fakta-fakta apalagi yang akan terbeber melalui pembicaraan para pria dewasa yang penuh keringat dan ruangan yang pengap. Syukurlah akhirnya hujan turun dan kipas angin rusak berfugsi kembali.

8,5 bintang!!

0 comments: